Kehilangan sandal akan semakin massif di waktu salat jumat. Sebab, yang berjamaah tidak hanya para santri yang ada dalam pesantren, tapi juga warga sekitar. Jumlah sandal yang ada di luar pelataran serambi masjid akan berjubel banyaknya—tentu dengan beragam merek dan model yang lebih bagus dari sekadar sandal jepit atau bakiak yang digunakan santri.
Jika sudah begini, kadang yang terjadi adalah
pencurian sandal betulan yang tidak dipakai hanya sebagai alas kaki pulang ke
rumah, tapi benar-benar dicuri tanpa ada niat untuk mengembalikan. Untuk
itulah, pada suatu Jumat, Kiai As’ad mendatangi salah satu dedengkot preman
guna mengatasi hal itu.
“Sandal jamaah di masjid ini sering hilang kalau
salat Jumat. Saya bisa minta tolong untuk mengamankannya agar tidak hilang?”
pinta Kiai As’ad seperti yang diriwayatkan ulang secara detail oleh cucunya H.
Ikrom Hasan
Dedengkot preman yang diajak berbicara justru
senang ketika Kiai As’ad berkunjung dan sama sekali tidak takut karena ilmu
bela dirinya. Di dalam lingkungan di sekitar pesantren, kiai memang biasanya
menjadi sosok yang sangat dihormati sekaligus disegani. Bahkan, melawannya
dianggap bisa membikin kualat.
Itu juga yang membuat si preman merasa tidak
keberatan dengan permintaan Kiai As’ad. “Gampang itu, Kiai. Paling yang mencuri
ya masih anak buah saya. Biar saya yang jaga,” tanggap si preman, bangga karena
dipercaya dan merasa berguna bagi masyarakat.
Pada akhirnya, pembicaraan itu diakhiri dengan
kesepakatan. Si preman tidak apa-apa tidak ikut salat Jumat—toh dia juga tidak
pernah salat sebelumnya—tetapi ia akan menjaga setiap pasang sandal yang ada di
luar pelataran masjid sepanjang salat Jumat berlangsung. Terutama saat salat
Jumat sudah berakhir.
Waktu salat Jumat pun tiba. Si preman datang dan
berjaga-jaga di dekat masjid. Benar saja, sejak kehadiran dedengkot preman ini,
tidak ada sandal yang hilang. Barangkali jamaah yang ingin “menukar” sandal
jeleknya dan memilih sandal yang lebih bagus merasa jeri ketika melihat ada
dedengkot preman di daerah tersebut terus mengawasi jamaah yang keluar dari
masjid usai salat Jumat.
Penjagaan ini pun terus berlanjut sampai pada
salat Jumat keempat, atau sudah masuk satu bulan. Lama-lama, si preman merasa
ada yang aneh. Sebagai sosok yang punya pengaruh dan ditakuti oleh banyak orang
di kampungnya, si preman merasa menjaga sandal adalah pekerjaan yang hina untuk
level sekelas dirinya.
Untuk itu, si preman menghadap ke Kiai As’ad
karena ingin protes. “Masa saya harus jaga sandal tukang becak, penjual kacang
goreng, dan orang-orang remeh gini?” gugatnya. “Justru harusnya orang-orang ini
yang jaga sandal saya, bukan malah sebaliknya."
Dengan gestur seperti orang bingung, Kiai As’ad
malah balik bertanya, “Kalau sampeyan ikut salat Jumat, terus siapa yang harus
jaga sandal?”
Si preman bingung. Betul juga, pikirnya. Sampai
akhirnya si preman punya ide. “Tenang, Kiai. Saya punya banyak anak buah. Biar
mereka yang menjaga, saya biar salat,” katanya sambil bangga karena sandalnya
bakalan jadi sandal yang dijaga. Tanpa pikir panjang, Kiai As’ad pun setuju.
Proses yang sama pun berlanjut secara
berkesinambungan. Si preman mengajak salah satu anak buahnya, dan memintanya
untuk menjaga sandal. Sampai beberapa salat Jumat, si anak buah ini jadi
jengkel. “Masa preman suruh jaga sandal preman,” gugat si anak buah yang juga
ingin sandalnya ikut dijaga.
Si dedengkot preman kemudian meminta si anak
buah untuk mencari temannya dulu sebelum memutuskan untuk ikutan salat Jumat.
Sampai akhirnya berangsur-angsur, preman di sekitar lingkungan pesantren jadi
ikut-ikutan salat Jumat hanya karena alasan sepele: ingin sandalnya dijaga
orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar